Kita hidup untuk Allah Al Hayyu



Powered By Blogger
Powered by Blogger.
RSS
Container Icon

Biografi Ibu Bangsa Hasri Ainun Habibie

Assalamualaikum..

Beberapa waktu lalu aku share tentang habibie ainun, tadi siang baru aja nonton film nya TT__TT ga bisa nahan tangis,,
sekarang mau share ulang tentang Ibu Ainun.. dan perjalanan cintanya dengan pak Habibie.

Bismillah...

Di balik seorang tokoh, selalu tersembunyi peran dua perempuan, yaitu ibu dan istri,”

(B.J. Habibie)
Habibie dan Ainun saat-saat sebelum berpisah (sumber satu)


Siapakah Hasri Ainun Habibie? Kenapa ia begitu dibanggakan oleh B. J. Habibie? Dari penelesuran saya, ternyata apa yang dilakukan oleh Habibie adalah suatu hal sangat wajar. Bahkan jika laki-laki lain yang mempersuntingnya, maka pasti mereka akan melakukan hal yang sama. Ini bukanlah suatu hal yang berlebihan. Setidaknya terlihat dari bagaimana ia melakoni hidup sepanjang sejarahnya. Sejak kecil hingga meninggal dunia, ia adalah seorang perempuan yang nyaris sempurna.
Saya mendapatkan banyak informasi mengenai kehidupan Ainun Habibie dari internet. Beberapa referensi saya sertakan dalam bagian akhir tulisan ini. Salah satu sumber yang sangat membantu saya adalah buku biografi Habibie yang ditulis oleh Makmur Makka. Selain itu informasi yang tidak kalah penting berasal dari ungkapan-ungkapan pendek dari beberapa tokoh yang saya dapatkan di internet.
Tulisan ini adalah untaian dari penelusuran saya di internet. Saya membagi tulisan ini tidak terlalu periodik karena tidak ada data yang cukup untuk melakukan itu. Meskipun beberapa bagian nampak seperti sebuah periodesasi, namun isi di dalamnya terkadang meloncat dari satu peride ke periode lainnya. Tujuan utama tulisan ini tidak lain untuk mengenal dan mengenang Ibunda Bangsa yang telah berpulang kerahmatullah 22 Mei 2010 yang lalu. Semoga bermanfaat!

 Latar Belakang keluarga
Hasri Ainun Habibie atau lebih popular dengan Ainun Habibie memiliki nama asli Hasri Ainun Besari. Hasri Ainun adalah nama dari bahasa Arab yang berarti seorang anak yang memiliki mata yang indah. Ainun merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari orang tua bernama H.Mohammad Besari. Ia dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 11 Agustus 1937.
Keluarga Ainun adalah keluarga yang mencintai pendidikan. Salah satu orang yang paling penting dalam mendorongnya untuk rajin belajar adalah ibunya. Ibu dari Ainun Habibie merupakan tokoh penting di balik kesuksesan putrinya dalam pendidikan.
Pendidikan dan Pekerjaan
Ainun menyelesaikan pendidikan dasarnya di Bandung. Namun saya belum menemukan data yang pasti nama sekolahnya. Ia melanjutkan pendidikan di SLTP dan SLTA yang juga di Bkota yang sama. Sekolahnya di LSTP bersebelahan dengan sekolah B.J. Habibie yang kemudian menjadi suaminya. Bahkan saat di LSTA mereka belajar di sekolah yang sama. Hanya saja Habibie menjadi kakak kelasnya. Setelah menamatkan pendidikan SLTA, ia merantau ke Jakarta untuk elanjutkan pendidikan. Ainun mengambil Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia, Jakarta. Ia lulus sebagai dokter pada tahun 1961.
Berbekal ijazah kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut, Ainun Habibie diterima bekerja di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Di RSCM Ainun bekerja di bagian perawatan anak-anak. Kesan pertama dengan pekerjaan ini secara tidak langsung menjadikan Ainun sangat perhatian pada kondisi anak-anak sepanjang hayatnya. Saat bekerja di sana ia tinggal di sebuah asrama di belakang RSCM, tepatnya di Jalan Kimia, Jakarta. Ia bekerja di rumah sakit tersebut hanya setahun saja, sampai tahun 1962. Setelah menikah dengan Habibie pada tahun 1962 itu juga, ia harus meninggalkan pekerjaan sebagai dokter anak lalu ikut dengan suaminya pergi ke Jerman untuk menyelesaikan pendidikan.
Kisah CInta dan Pernikahan
Makmur Makka, penulis Biografi Habibie mendapatkan informasi menarik mengenai kisah cinta Habibie. Ternyata cinta Ainun dan Habibie sudah bersemi sejak mereka remaja. Ainun mengaku kalau ia dan Habibie sudah kenal sejak kecil, bahkan sekolah menenagah mereka berdekatan. Pada tahun 1986, Majalah Femina memuat cerita mengenai kisah ini. Ainun saat itu mengatakan:
“Kami kenal sejak kecil, dia teman bermain kelereng kaka saya. Rumah kami berdekatan ketika di Bandung. Di SLTP letak sekolah kami bersebelahan. Di SLTA malah satu sekolah, hanya Rudy (panggilan Habibie) satu kelas lebih tinggi. Dia selalu menjadi siswa paling kecil dan paling muda di kelas, begitu juga saya. Guru dan teman-teman acap kali berkelakar menjodoh-jodohkan kami. Yah, gadis mana yang suka diperolok demikian?”
Ainun dan Habibie memang banyak kesamaan sehingga mereka sering dijodoh-jodohkan oleh guru dan teman-temannya. Antara lain mereka sama-sama anak ke empat dari delapan bersaudara; sama-sama dibesarkan dalam keluarga yang berpendidikan. Selain itu mereka juga menjadi anak-anak yang beruntung karena memiliki ibu yang mendorong mereka untuk mengutamakan pendidikan. Kesamaan lain adalah, mereka sama-sama tinggal di Bandung dan sekolah di tempat yang sama. Yang tidak kalah unik adalah, mereka sama-sama hobi berenang.
Kisah cinta antara dua anak manusia ini memang sudah terlihat sejak mereka sama-sama sekolah. Rasa cinta tersebut mulai terbesit saat mereka sekolah di SMAK Dago, Kota Bandung. Ainun adalah seorang gadis yang sangat suka berenang. Karena terlalu banyak dan sering berenang, kulitnya menjadi lebih hitam. Pada suatu hari, saat jam istirahat belajar, Habibie lewat di depannya. Saat melihat Ainun  Habibie mengatakan: “Hei, kamu sekarang kok hitam dan gemuk?” Ungkapan ini menjadikan Ainun berfikir dan merasakan sebuah getaran aneh di dalam dadanya. “Apakah Habibie perhatian padanya?” Apalagi teman-temannya heran dengan kejadian itu dan mengatakan kalau Habibie memang perhatian padanya. Memang, saat itu Ainun memang menjadi pujaan di sekolahnya dan menjadi incaran banyak siswa laki-laki, termasuk Habibie. Habibie pernah mengomentari tentang Ainun dengan ungkapan: “Wah cakep itu anak, si item gula Jawa”.
Namun mereka berpisah cukup lama. Setelah lulus SMA, Habibie melanjutkan pendidikannya ke ITB Bandung, namun tidak sempat selesai. Habibie  dikirimkan oleh orang tunya ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Adalah ibunya yang sangat semangat menyuruhnya belajar ke negeri  “Panzeer” tersebut. Ia berangkat dengan biaya dari orang tunya sendiri, dan  tidak mendapat beasiswa pemerintah Indonesia, namun pemerintah memberinya izin belajar ke sana. Lalu ia berangkat ke Jerman Barat, untuk melanjutkan pendidikan di sana. Ia masuk ke Universitas Technische Hochscheule di kota Achen, Jerman. Tahun 1960 terhitung Habibie tidak pulang ke Indonesia selama tujuh tahun. Ini membuatnya sangat home sick, terutama ia sangat ingin mengunjungi pusara Bapaknya.
Setelah menanti agak lama, akhirnya Habibie punya kesempatan pulang ke Indonesia. Saat Habibie pulang ke Indonesia, ia berkesempatan menziarahi makam bapaknya di Ujung Pandang. Menjelang lebaran ia pulang ke Bandung dan bertamu ke rumah tetangganya yang lama, keluarga Ainun. Saat itu pula Ainun secara kebetulan sedang mengambil cuti  dari tempat kerjanya di RSCM dan pulang ke Bandung. Di sanalah cinta lama bersemi kembali setelah sekian lama mereka tidak bersua. Saat berjumpa dan bertatp mata Habibie mengatakan: “Kok gula Jawa sekarang sudah menjadi gula pasir?”. Pertemuan mereka berlanjut di Jakarta. Habibie mengikuti Ainun yang kembali ke Jakarta untuk masuk kerja di RSCM. Di Jakarta Habibie tinggal di Jl. Mendut, rumah kakaknya yang tertua.


Sama-sama tinggal di Jakarta membuat cinta mereka semakin bersemi. Mereka saling berjanji untuk sering bertemu dan merindukan satu sama lain. Habibie kerap menjemput Ainun yang bekerja di RSCM. Pada malam hari mereka pacaran dan melewati waktu dengan sangat indah. Sesekali mereka naik becak dengan jok tertutup, meskipun sebenarnya malam tidak diguyur hujan. Dan ketika mereka semakin dekat, Habibie menguatkan hati untuk mejatuhkan pilihannya pada Ainun. Ia melamar Ainun dan mempersunting menjadi istrinya.
Ainun disunting oleh BJ Habibie menjadi istrinya pada tanggal 12 Mei 1962. Mereka menghabiskan bulan madu di tiga kota. Kaliurang, Yogyakarta, dilanjutkan ke Bali lalu diakhiri di Ujung Pandang, daerah asal B. J. Habibie. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua orang putra; llham Akbar dan Thareq Kemal dan enam orang cucu. Namun demikian dalam penganugerahan gelar Doktor kehormatan kepadanya oleh Universitas Indonesia, Habibie mengatakan kalau ia punya cucu ribuan jumlahnya: “Saya mau garis bawahi. Di usia saya yang 74 tahun ini, anak biologis saya cuma dua. Cucu biologis saya hanya enam. Tetapi anak cucu intelektual saya ribuan jumlahnya.” Tentu saja yang dimaksudkan Habibie adalah mahasiswanya yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Menjadi Ibu dua Pangeran
Setelah menikah Ainun ikut dengan Habibie yang harus menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Jerman. Kehidupan awal di sana dilalui dengan perjuangan yang luar biasa. Setidaknya ia harus bersabar dengan pendapatan yang teramat kecil dari beasiswa Habibie. Namun dengan tekun dan sabar ia tetap menyertai Habibie. Bahkan untuk menghemat ia menjahit sendiri keperluan pakaian bayi yang dikandungnya. Dan disanalah ia mengandung dua putranya, melahirkan dan mebesarkannya.
Ainun adalah seorang ibu yang sangat bertanggung jawab dalam mebesarkan anak-anaknya. Sejak kecil ia membiasakan anak untuk mengembangkan kepribadian mereka sendiri. Ia membebaskan anak-anak untuk berani bertanya tentang hal yang tidak diketahuinya. Dan Ainun akan memberikan jawaban jika ia mampu atau ia akan meminta Habibie jika tidak mampu. Hal ini tentu saja karena ia sadar kalau anak-anak sejak kecil harus dibangun keingintahuan dan kreatifitasnya.
Selain itu Ainun juga membiasakan anaknya hidup sederhana. Uang jajan diberikan pas untuk satu minggu. Dengan demikian si anak memiliki kebebasan untuk memilih jajanan yang mereka sukai., dan mengelola uang mereka sendiri. Anak-anak Ainun tumbuh sebagai anak yang menghargai kesederhanaan itu. Pernah mereka harus bolak-balik dari satu toko ke toko lain untuk mendapatkan harga yang pas sebelum membeli suatu barang.
Hal yang juga tidak kalah penting dalam mendidik anak adalah membiasakan mereka mengemukakan pendapat dengan mengajak mereka berdiskusi di rumah. Menurut Ainun, jika anak-anak berani mengeluarkan pendapat, artinya mereka sedang belajar dalam hidupnya. Dan bagi orang tua, itulah saatnya melaksanakan kewajiban memberikan bekal bagi kehidupan mereka.
Dan benar saja, hasil didikan itu menjadikan kedua anak mereka tumbuh sebagai seorang yang luar biasa. Seperti kita tahu bahwa Ilham Habibie menyelesaikan pendidikan di Muenchen dalam ilmu aeronautika dan meraih gelar PdD dengan predikat summa cumlaude, lebih tinggi dari predikat ayahnya. Sementara Thareq Kemal menyelesaikan Diploma Inggeneur di Braunsweig, Jerman. 

Mendampingi Suami
Dalam acara Penganugerahan gelar doktor honoris causa (Dr HC) dari UI, Habibie mengungkapkan sebuah kalimat yang menceriminkan bagaimana peran Ainun di belakang kesuksesannya. “”Di balik seorang tokoh, selalu tersembunyi peran dua perempuan, yaitu ibu dan istri,” Oleh sebab itu pula dalam sambutannya Habibie mempersembahkan gelar tersebut untuk istrinya. “Saya juga menerima penghargaan ini atas nama keluarga, anak-anak dan cucu-cucu saya, khususnya istri saya yang terus mendampingi saya dengan tulus dan ikhlas, sehingga saya menjadi hamba Allah seperti sekarang ini.”
Penghargaan yang begitu besar oleh Habibie kepada istrinya memang tidak berlebihan. Hal ini terlihat sejak awal kebersamaan mereka sewaktu di Jerman. Pada saat mula-mula hidup di Jerman mereka adalah keluarga kecil dengan penghasilan suami yang sangat kecil pula. Dalam kondisi inilah ia menjadi pendamping yang dapat diandalkan. Untuk menghemat pengeluaran, ia menjahit sendiri perlengkapan bayi mereka. Selain itu, Ainun juga kerap menjadi motivator bagi Habibie. Misalnya ia menyemangati Habibie saat Habibie hampir putus asa karena thesisnya diambil alih oleh pembimbing. Berkat dorongan dan semangat dari Ainun, Habibie malah mendapatkan ide yang jauh lebih baik dan sempurna.
Ainun memang mendampingi Habibie dalam segala hal. Saat mula-mula Habibie menjadi tekhnokrat, ia menjadi sosok yang mengatur Habibie di belakang layar. Misalnya, ia yang selalu mengingatkan Habibie dalam masalah waktu kerja. Ketika jam telah menunjukkan pukul 22.00, Ainun menelpon Habibie dan mengingatkannya agar menjaga kesehatan. Habibie terkadang meminta stafnya menjawab kalau ia sudah di lift hendak pulang. Padahal ia terus duduk di belakang meja kerjanya. Ainun juga menjadi pengingat waktu saat Habibie memberikan kuliah atau ceramah. Kita tahu kalau Habibie yang memberi kuliah ia sering lupa waktu. Memeng secara isi materi tidak ada masalah, sebab semua orang akan senang. Namun hal ini dapat mengganggu jadwal acara yang lain yang mengikutinya. Nah, Ainun dengan cara tertentu akan memberikan isyarat kalau habibie sudah harus berhenti. Setelaha melihat Isyarat Ainun, Habibie akan mengatakan: “Saya akhiri ceramah ini, saya sudah diperingatkan oleh Ainun.” Sungguh, sebuah penghargaan yang jujur dan menyentuh hati.
Wardiman Djojonegoro, mantan menteri pendidikan (1993-1998) pada era Soeharto mengatakan kalau Ainun juga sangat memperhatikan makanan untuk Habibie. Dilaah yang menetukan asupan gizi yang baik untuk sang suami. Sebagai Dokter hal ini memang mungkin dilakukannya. Sehingga kalau di depan Ainun, Habibie sangat taat dengan aturan makan yang diterapkan istrinya. Namun terkadang kalau Habibie makan berpisah dengan Ainun, ia sering lupa dengan aturan makan dari istrinya. Hal ini terjadi karena tidak ada orang yang tahu bagaimana makanan yang pas untuk Habibie keculai Ainun, istrinya.
Pada saat Habibie menjadi Wakil Presiden republik Indonesia, Ainun adalah seorang yang dengan tulus ikhlas membantu suaminya mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Dalam buku karangan Habibie “Detik-detik Yang Menentukan” tergambar dengan sangat baik bagaimana Ainun mendampingi Habibie dalam kondisi yang sangat gawat dan krusial. Habibie dalam sebuah cerita yang panjang memasukkan dengan gamblang apa saja yang dilakukan Ainun dalam mendampinginya. Dan Ainun pula yang menjadikan Habibie selalu tenang dan matang dalam mengambil sebuah keputusan.


Menjadi Ibu Negara
Pada 23 Mei 1998 Ainun menjadi menjadi Ibu Negara setelah B. J. Habibie dilantik sebagai presiden Negera Kesatuan Republik Indonesia yang ketiga menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri karena desakan masyarakat pada awal reformasi. Tidak lama memang, hanya setahun lebih sedikit, setelah Habibie tidak bersedia untuk mengikuti pemilihan kepemimpinan karena laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh DPR/MPR yang saat itu diangap –mengutip Almarhum Gusdur- seperti anak TK. Meskipun secara konstitusi ia dibenarkan menjadi calon presiden, namun secara nurani dan moralitas Habibie merasa tidak nyaman. Selama itu pula Ainun menjadi seorang inspirator untuk sang presiden.
Selama menjadi Ibu negara Ainun menunjukkan dedikasi dan pengabdiannya pada suami dan pada negara sekaligus. Bayak orang yang merasa terkagum-kagum bahkan heran bagaimana Ainun dalam usinya yang tidak lagi muda memiliki energi dan stamina yang seolah tidak pernah habis dalam mengikuti ritme kerja Habibie. Kita tahu tahun 1999 saya menjadi presiden Indonesia dalam keadan kacau beliau. Namun di tengah gemuruh kekacauan ini Ainun mampu menempatkan diri sebagai Ibu Bangsa yang melayani dan mendukung suami seklaigus menjadi “Ibu” buat 200 juga rayat Indonesia.
Penghargaan dan Dedikasi
Ainun memiliki kepedulian yang besar dalam kegiatan sosial. Ia mendirikan dan terlibat dalam beberapa yayasan, seperti Bank Mata untuk penyantun mata tunanetra. Ia bahkan masih menjadi sebagai Ketua Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI) pada saat Habibie tidak lagi menajadi Pejabat. Dalam usaha memperkenalkan dan meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat Indoensia, Ainun pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pendiri Yayasan SDM Iptek, Selain itu ia mendirikan Yayasan Beasiswa Orbit (Yayasan amal abadi-orang tua bimbingan terpadu) dengan cabang di seluruh Indonesia. Ainun juga memprakarsai penerbitan majalah teknologi anak-anak Orbit. Khusus untuk Aceh, semasa Aceh dalam gejolak pada tahun 2000-an, Ainun mengadakan beasiswa ORBIT khusus untuk siswa Aceh.
Ia juga mencatat segudang prestasi besar selama hidupnya. Atas sumbangsihnya tersebut, Ainun mendapatkan beberapa penghargaan tertinggi bintang mahaputra. Penghargaan tersebut diberikan oleh pemerintah sebagai penghargaan kepada warga yang dianggap memiliki peran besar terhadap negara. Antara lain ia mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Adipurna, juga Mahaputera Utama pada 12 Agustus 1982 serta Bintang Mahaputra Adipradana pada 6 Agustus 1998. Untuk alasan ini pula Ainun Habibie dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
Sebuah dedikasi yang tidak kalah pentingnya dalam hubungannya dengan tunanetra adalah harapan Ainun agar pemerintah memberikan keleluasaan dan aturan yang menganjurkan untuk dilaksanakan donor mata. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimmly Assidiqie, Bu Ainun mengharapkan adanya fatwa yang bukan hanya membolehkan donor mata tetapi menganjurkan dilakukannya donor mata. Karena menurut beliau ketentuan untuk donor mata di Indonesia penuh dengan syarat tertentu, beliau ingin donor mata bukan dibolehkan dengan syarat-syarat tetapi dianjurkan dengan prosedur tertentu. Ini jelas menunjukkan bagaimana ia berdedikasi pada persoalan yang dihadapi orang cacat dan berharap kita semua bisa membantunya.

Kehidupan religius
Habibie dan Ainun memang bukan ahli agama. Namun tidak ada yang menolak kalau dikatakan keluarga ini adalah keluarga yang religius. Perhatian pada agama dan religiusitas tersebut bukan hanya dalam ranah pribadi, namun juga dalam ranah sosial yang lebih besar dan luas. Habibie pada masa Soeharto berhasil membangun sebuah komunikasi diantara para sarcana muslim sehingga berkumpul dalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Salah satu produk besar ICMI adalah Bank Muamalat Indonesia, yang konon katanya salah satu diantara bank yang tidak bangkrut pada saat indonesia dilanda resesi. BMI pula yang menjadi inspirasi awal lahirnya bank syariah sebagai bagian dalam bank-bank konvensional yang ada di Indonesia saat ini.
Dalam tataran individu, keluarga Habibi menunjukkan religiusitasnya yang konsisten. Sampai saat ini keluarga Haibie adalah keluarga yang melakukan puasa senin kamis. Puasa sunat senin kamis adalah sebuah praktik religius yang tidak semua orang Islam mampu melakukannya. Hanya orang dengan ketaqwaan yang kuat dan rasa tawakkal yang tinggi saja yang mampu melakukannya. Menkumham, Patrialis Akbar mengatakan kalau ia pernah diceritakan oleh Habibie tentang kehidupan religius istrinya, Ainun Habibie. Ainun adalah orang yang melewatkan malam-malamnya dengan shalat tahajut dan mengaji al-Qur’an. Ia telah menamatkan al-Qur’an puluhan kali. Bahkan dari satu sumber dikatakan Ainun menamatkan al-Qur’an dua kali dalam satu bulan. Sebuah prestasi keagmaan yang tidak semua orang Islam dapat melakukannya. Apalagi ditengah kesibukan dan kepadatan jadwal kegiannya sebagai istri petinggi negara.
Kehidupan religius Ainun jelas tergambar dalam Detik-detik yang menentukan, karya Habibie. Beberapa kali Habibie menulis mengenai istrinya, saat Ainun sedang di atas sajadah. “Ainun yang sedang membaca al-Qur’an” atau “Ainun yag baru saja selesai melaksanakan shalat malam” dan lain sebagainya. Di rumah mereka di Jakarta pada saat Habibie masih menjadi menristek, lalu wakil presiden, sampai menjadi presiden, dilaksanakan pengajian rutin yang diikuti warga sekitar dan istri-istri pejabat negara.

Kisah-Kisah Unik
Ada beberapa pengalaman dari orang dekat Ibu Ainun yang tersiar di internet. Salah satunya adalah pengalaman yang dirasakan oleh Adrie Soebono, kemenakannya yang saat ini menjadi promotor musik ternama di Indonesia. Katanya, sampai saat terakhir berjumpa, yakni dua bulan sebelum beliau meninggal dunia, ia masih dianggap sebagai anak-anak oleh Ibu Ainun. Ia dinasehati layaknya seorang anak kecil yang bandel. Memang, Adrie Soebono pernah tinggal bersama keluarga Habibie di Jerman selama delapan tahun. Dan selama itu pula ia mengatahui dengan persis bagaimana keluarga tersebut.
Ibu Ainun juga paling hobi jogging. Hampir setiap hari di Jerman ia melakukan Jogging. Bahkan terkadang tidak peduli panas dingin. Namun hobi Jogging tersebut hanya dilakukan Ainun saat berada di Jerman. Jika di Indonesia Ainun hanya fitnes atau lari di atas treadmill. Hal ini disebabkan Ainun sensitif dengan debu, mungkin kena sinus. Udara di Jakarta dan kota lain di Indoensia banyak debu, jadi Ainun tidak pernah jogging. Kondisi kesehatan ini juga menjadi salah satu alasan Habibie untuk menetap di Jerman setelah ia tidak lagi menjadi pejabat negara.
Dalam cara seminar atau ceramah yang Habibie menjadi penceramahnya, Ainun menjadi “tukang tekan bel,” memperingatkan Habibie mengenai waktu. Pernah Habibie diberikan kesempatan untuk menjadi penceramah dalam bulan Ramadhan. Ceramah diberikan setelah shalat isya sebelum tarawih. Biasanya ceramah ini  hanya berlangsung selama sepuluh atau lima belas menit. Namun Habibie melakukannya lebih lama, sehingga membuat para jamaah gelisah. Sebab ada agenda lain yang harus dilaksanakan yaitu shalat tarawih. Ainun tahu kondisi ini. Ia meminta seorang cucunya untuk memberikan isyarat pada Habibie karena  ia duduk agak jauh. Cucunya datang ke tempat yang terlihat oleh Habibie dan membuat sebuah gerakan layaknya orang Shalat. Habibie-pun paham. Sebelum mengkhiri ceramahnya, Habibie mengatakan: “Ini pasti Ainun yang suruh.”
Ada pengalaman unik dari Ibu Linda, mantan wartawan Majalah Tempo saat bertugas di istana pada masa Soeharto. Ia sering menjumpai Habibie dengan pipi yang ada bekas lipstiknya sebelum masuk kantor. Saat ditegur, Habibie dengan santai mengatakan kalau istrinya sering mencium sebelum ia berangkat, bahkan ketiak sudah digarasi mobil. Dan itu terjadi berkali-kali.  Saat diberitahu ia Habibie menjawab dengan bangga: “‘Ya begini nih istri Oom….. seperti nggak mau pisah dan ditinggal ke kantor lama-lama. Senang ya punya pasangan seperti begini?”. Ibu Linda yang kebetulan berjumpa dengan Ibu Ainun, Istri Habibie “melaporkan” kejadian itu pada Ainun. Ainun menjawab: “Aduuuh, bikin malu ya? Artinya suami saya nggak hapus lagi dong kalau memang masih ada bekas lipstik?, Awas saja nanti sampai di rumah mau  saya tanya ah …hahahaaa… !”.
Cerita unik lain adalah Ainun memempengaruhi Habibie utuk mengikuti sinetron Cinta Fitri yang tayangkan oleh sebuah TV Swasta di tanah air. Semula Habibie tidak tahu mengenai sinetron ini, namun setelah diceritakan sedikit latar belakangnya oleh Ainun, Habibie menjadi tertarik dan mengikutinya dengan rutin. Bahkan karena begitu kagum dengan kisah cinta dalam sinetron tersebut Habibie pernah mengundang para pemain sinetron untuk makan malam di kediamannya di Jakarta. Apa yang Ainun dan Habibie tertarik? Menurut pengakuan mereka, kisah cinta dalam sinetron tersebut hampir sama dengan kisah cinta mereka sendiri, karena itu mereka seakan kembali ke masa silam dan menikmatinya.
Cinta Sang Suami

“Saya dilahirkan untuk Ainun dan Ainun dilahirkan untuk saya”
(B.J. Habibie)
Berbagai kiprah selama hidup bersama Habibie, membuat Habibie menempatkan Ainun sebagai orang yang sangat dekat di hatinya. Yusran Darmawan pernah melihat sendiri bagaimana wujud perhatian mantan presiden ini pada Istrinya. Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di kantor BPPT Jakarta, Habibie menjadi keynote speaker. Saat datang Habibie ditemani oleh istrinya, Ainun. Setelah selesai memberikan kuliahnya, semua wartawan datang mengerubunginya untuk wawancara. Pada saat itu pula Habibie tidak peduli dan ia nampak mencari-cari di mana Ainun. Ketika seorang wartawan bertanya tentang pendapatnya atas situasi di Timor Leste, Habibie hanya menjawab singkat. “Maafkan, saya sedang mencari di mana mantan pacar saya. Mana Ainun? Saya belum pernah pisah dengan Ainun. Mana Ainun?” 

Wujud cinta ini juga terlihat saat Ainun sudah terbaring di rumah sakit. Selama hampir tiga bulan ini Habibie dikabarkan tidak beranjak dari sisi istrinya. Sejak masuk rumah sakit pada tanggal 24 Maret 2010 silam  Habibie memberikan perhatian dan menunjukkan cinta kepada ibu dari anak-anaknya itu. Tentu saja ini terjadi karena Habibie dan Ainun telah banyak melewati berbagai perjuangan dalam menempuh hidup ini. Perjuangan tersebut telah memupuk cinta mereka begitu kuat dan terasa takkan terpisahkan. Selama di rumah sakit juga Habibie menuntun istrinya untuk shalat. Dari sebuah sumber saya dapatkan, pada hari sebelum meninggal dunia, Habibie sempat membimbing istrinya shalat subuh, zuhur dan ashar di rumah sakit tersebut.
Hanya sampai di rumah sakit? Ternyata tidak.!Dalam proses penantian pengurusan administrasi sebelum jenazah diterbangkan ke tanah airpun Habibie masih mendampingi istrinya. Dalam pesawat beliau masih dekat dengan jenazah almarhumah. Saat tiba di tanah air jenazah diturunkan dari pesawat, beliau masih mendampingi peti jenazah tersebut. Dalam beberapa foto yang diabadikan wartawan jelas nampak Habibie dengan peci hitam berjalan dengan memegang peti jenazah istrinya. Bahkan saat jenazah dibawa ke pemakaman dari rumah duka, Habibie tidak mau naik ke mobil yang telah disediakan untuknya. Ia malah memilih masuk ke dalam ambulan dan duduk di sisi peti jenazah istrinya. Mungkin tidak semua masyarakat yang menyaksikan iring-iringan mobil itu tahu kalau mantan menteri, manatan presiden, orang besar yang dikenal tidak hanya di Indonesia itu berada berdua dengan sang istri dalam ambulan menuju pemakaman.
Dalam sebuah sambutan yang diberikan Habibie setelah upacara pemakaman istrinya ia mengungkapkan rasa cinta itu dengan sebuah kalimat puitis nan indah: “12 Mei 1962 kami dinikahkan. Bibit cinta abadi dititipkan di hati kamu dan hati saya, pemiliknya Allah. Cinta yang abadi dan sempurna. Kamu dan saya, sepanjang masa. Nikmatnya dipatri dalam segala-galanya, satu batin dan perasaanya.” Ungkapan ini bukan hanya pemanis bibir. Habibie telah menunjukkan dalam laku dan perbuatannya. Ia mencurahkan seluruh cinta dan hatinya pada sang istri, Ainun Haibie, sampai ia menutup mata.
Selamat Jalan Ibu
Seperti telah diberikatakan oleh banyak media, pada 24 Maret 2010, Hasri Ainun Habibie masuk ke rumah sakit Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro`hadern, Munchen, Jerman. Ainun berada di bawah pengawasan direktur Rumah Sakit Prof Dr Gerhard Steinbeck, yang juga spesialis penyakit jantung. Ia telah menjalani sembilan kali operasi dan empat kali dari sembilan operasi tersebut merupakan operasi utama. Sisanya merupakan operasi eksplorasi. Pukul 17.05 waktu Jerman, hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010, Nyonya Ainun wafat dalam usia 72 tahun, setelah 45 tahun hidup bersama Habibie. Sebelum wafat, Nyonya Ainun sempat beberapa kali mengalami kritis. Namun jiwanya tidak terselamatkan lagi. Semua orang berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Selamat jalan ibu, kebaikan dan dedikasimu menjadi pelajaran sangat berharga bagi kami.
Sumber Rujukan
2. Beberapa tulisan di http://www.detiknews.com
4. Beberapa laporan dari Metro TV dan TV One
5. Beberapa tulisan dalam LKBN Antara
8. Dan lainnya hasil browsing di Internet, seperti kompas.com, inilah.com, dan lain-lain
9. Beberapa tulisan kompasianer: Djamaluddin, Nila,

Sekian

Wassalam..


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

3 comments:

Arifah Putri said...

sumpah, bagus bgt kak :')
sampek gemeteran dan nangis pas mbacanya
this is the best story...

Unknown said...

Iyah .. amazing bgt emang sepasang figur ini :)

seomarket said...

inget banget dulu pas liat televisi ampe air mata jatuh juga. Karna deket rumah, banyak banget pelayat silih berganti. Semoga Almarhumah Ibu Ainun ditempatkan disisi-Nya dan diampuni segala dosa2nya..Amiin

Artha Meris Simbolon

Post a Comment