Bismillah..
Assalamualaikummm..!!!
Ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan
untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak
belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii
wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. Dengan do'a
ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermamfaat.
Apakah
hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut
bermamfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan
bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi
kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan
kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan
ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia,
tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.
Oleh
karena itu, dalam kacamata ma'rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu
sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. "Ilmu yang
berguna," ungkapnya, "ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya
dan membuka penutup hati." seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah
tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, "Yang bernama ilmu itu
bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan
hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun
bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan
menjauhkannya dari kesombongan diri."
Ilmu itu hakikatnya
adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh
tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa
mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah : Kalau
sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).
Adapun ilmu yang
dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah
samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu
oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian
takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu
tidak akan pernah meleset sedikit pun!
Akan tetapi,
walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun
sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita
semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus
kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun
caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.
Hal
lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya
agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di
dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih
menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa
ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat
lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat
menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan
menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.
Karenanya,
jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi
majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya
tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat
terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang
kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak
akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah
tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak
akan pernah menerangi hati.
Padahal kalau hati kita
bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening.
Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita
menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka
usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih.
hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap
urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin
hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa
mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu datangnya.
Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala
sesuatu yang akan membawa mudharat.
Sebaik-baik ilmu
adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib
menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih,
sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi
bermamfaat.
Bila mendapat air yang kita timba dari sumur
tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya.
Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa
menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang
kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat.
Mengapa
demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai
penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu
yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk
mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar
menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti
hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam
keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur,
merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat.
Oleh
karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu
kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis
pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih
mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu
dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal
kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di
hadapan-Nya.
Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan
bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus
ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain
kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua
hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal,
bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua,
yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari
kita?
Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya
untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan
menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.
Disarikan dari K.H. Abdullah Gymnastiar
Moga Manfaat
Wassalam..
0 comments:
Post a Comment