Assalamualaikum
Pagi ini mau sharing tentang artikel dr fimadahani yg baru saya baca, yg ditulis oleh akhi Akmal Sjafril
Bismillah...
‘Agama baru’ itu begitu sederhana, hanya saja pembawanya tidak pernah
mengaku tengah membawa agama baru. Ia justru merujuk pada agamanya sang
nenek moyang yang sudah dikenal bersama dan dicintai oleh segenap
bangsa, yaitu Ibrahim ‘alaihissalaam. Bagaimana pun, seruannya
memang terdengar seperti suatu hal yang baru di tengah-tengah hegemoni
tradisi yang sudah berkembang ratusan tahun lamanya di negeri itu.
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang seolah
tampil membawa seruan yang asing dari negeri jauh, meskipun ia orang
dekat yang dikenal oleh segenap penduduk Mekkah. Beliau sendiri menyebut
dirinya dan para pengikutnya sebagai ‘orang-orang asing’ (ghurabaa’),
karena pada masa-masa awal dakwahnya memang hanya segelintir orang saja
yang bersegera memenuhi seruannya. Jangankan tetangga dan kawan di
pinggir kota, keluarga pun tak banyak yang bergabung, bahkan sebagian
dari musuh yang paling keras melawan Islam justru berasal dari
keluarganya sendiri.
Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus,
masyarakat Arab dihimpit oleh dua kekuatan adidaya yang dimabuk
kedigjayaannya sendiri. Romawi dan Persia tengah menikmati kekayaan
berlimpah dari negeri-negeri jajahannya. Hanya sedikit yang berani
mengangkat muka di hadapan kekuatan militer mereka, dan hanya sedikit
yang mampu bertahan jika keduanya sudah mengobarkan api peperangan.
Jazirah Arab, yang alamnya berupa lautan pasir (“jazirah”
sendiri bermakna “lautan”) tandus dengan pasokan air yang sangat
terbatas sehingga tanahnya sulit ditanami, adalah daerah yang beruntung
tidak pernah dianeksasi oleh Romawi atau Persia, justru karena alamnya
yang sama sekali tidak menarik untuk dijajah.
Di Romawi dan Persia, kekayaan berlimpah yang identik dengan
kezaliman (karena diambil dari negeri-negeri jajahan) berbanding lurus
dengan penyimpangan. Semakin kaya penduduknya, semakin bejat
perilakunya. Di istana-istana Romawi, pesta pora mabuk-mabukan adalah
hal yang biasa, dan mungkin yang paling rendah derajat kebejatannya.
Setelah mereka makin kaya, mereka pun mengadakan pesta seks di
istana-istana itu. Melakukan kegiatan seks beramai-ramai atau bertukar
pasangan adalah hal yang biasa terjadi. Demi mencari sensasi, eksperimen
pun dilakukan. Bosan dengan lawan jenis, mereka pun mencoba dengan
sesama jenis. Kalau masih kurang puas, didatangkan budak-budak yang
masih remaja untuk disodomi. Jika belum cukup juga, dengan hewan pun
jadi.
Di Persia, penyimpangan seksual tidak eksklusif milik kaum bangsawan,
karena agama mereka pun menganjurkannya. Agama-agama kuno Persia telah
lama mengajarkan perilaku seks bebas, bahkan menganjurkan berhubungan
seks dengan ibu kandung mereka sendiri. Kepercayaan takhayul pun
berkembang luas, sebab pokok kepercayaannya pun sudah rusak. Mereka
meyakini adanya ‘tuhan baik’ dan ‘tuhan jahat’ yang saling berpolemik,
dan polemik kedua ‘jenis tuhan’ inilah yang membuat hidup manusia penuh
dinamika.
Jauh dari gangguan kekuatan militer negara lain, penduduk jazirah
Arab praktis terisolasi di negerinya sendiri, meskipun hal itu tidak
menghalangi mereka untuk mengadakan perjalanan-perjalanan dagang ke
negeri-negeri lain. Mereka mengembangkan gaya hidupnya sendiri, yang
adakalanya terlihat kontradiktif. Mereka gemar sastra, tapi juga gampang
berperang. Mereka berharga diri tinggi, tapi kadang-kadang berperilaku
rendah. Mereka menikahi perempuan-perempuan, tapi kesal jika istrinya
melahirkan anak perempuan.
Pada masa itu, orang banyak minum khamr. Di seluruh dunia, tujuan minum khamr
tidak berbeda; sekedar pelarian dari masalah. Efeknya pun sama, yaitu
mabuk, dan kebejatan-kebejatan lainnya akan menyusul. Meskipun khamr
yang mereka tenggak tidak selevel dengan anggur di cawan-cawan para
kaisar Romawi, namun kesenangan sesaat yang mereka nikmati tidak jauh
berbeda.
Sementara Jazirah Arab relatif aman dari serangan luar, pada saat
yang bersamaan justru masyarakatnya sendirilah yang saling berperang.
Fanatisme kabilah menjadi corak hidup mereka. Ada persinggungan sedikit
saja bisa menimbulkan perang, dan kalau perang sudah dimulai, ia bisa
bertahan selama beberapa tahun, bahkan ada yang sampai puluhan tahun
lamanya. Pada saat itulah kaum penyair bekerja. Bukan untuk menggugah
hati kecil atau melembutkan perasaan orang, melainkan justru untuk
semakin mengobarkan semangat fanatik anggota kabilahnya masing-masing.
Jika para bangsawan Romawi melakukan berbagai penyimpangan seks untuk
kesenangan, maka di Jazirah Arab seks menjadi komoditi yang
diperdagangkan. Pelacuran menjadi hal umum yang disikapi secara ambigu:
dibenci tapi tetap dicari. Jika ada pelacur yang hamil dan melahirkan,
maka ia kumpulkan semua pelanggannya dan ia pilih salah satu untuk
menjadi ayah bagi anaknya. Ada juga yang melakukan penyimpangan dalam
institusi pernikahan, misalnya seorang lelaki menyuruh istrinya bergaul
dengan lelaki lain agar mendapat anak darinya, karena lelaki itu
dipandang sebagai orang baik yang akan menghasilkan ‘bibit unggul’.
Kerusakan terparah dimulai dari penyimpangan agama dan mencapai
klimaksnya juga pada penyimpangan agama. Sejak mereka mulai menyimpang
dari agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam, cara hidup mereka pun
semakin jauh dari kewajaran. Tersebutlah ‘Amr ibn Luhayy, seorang tokoh
dari Bani Khuza’ah, yang merupakan orang pertama yang mengajarkan
penyembahan berhala kepada masyarakat Arab. Kebiasaan menyembah berhala
ini ditirunya dari penduduk Syam, dan dengan segera menjadi tren di
Hijaz. Tadinya ada satu berhala, kemudian dua, tiga, hingga akhirnya
setiap kabilah dan setiap rumah pasti memiliki berhala. Ketika
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan Mekkah, di sekitar Ka’bah ada tiga ratus enam puluh berhala.
Tentu saja berhala-berhala itu tidak berdiri sendiri. Mereka pun
membangun berbagai mitos, takhayul dan tradisi di sekelilingnya. Maka
masyarakat Arab pun sibuk mendatangi berhala untuk memohonkan ini dan
itu. Mereka datang ke Ka’bah dan ber-thawaf di sekeliling
berhala-berhala yang ada di sana, dan juga menyajikan berbagai hewan
yang dikorbankan atas nama berhala itu. Mereka ciptakan sistem yang
sangat rumit untuk menentukan unta mana yang boleh disembelih dan mana
yang tidak, yang boleh diambil susunya dan yang tidak. Untuk membuat
berbagai keputusan mereka mendatangi para ahli nujum yang meramal
berdasarkan posisi bintang atau mengundi dengan anak panah dan berbagai
metode lainnya.
Kepada masyarakat yang kejahilannya begitu ‘komprehensif dan sistemik’ inilah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyeru manusia agar kembali kepada ajaran Tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam,
hanya sayangnya sudah banyak yang lupa dengan ajaran sejati itu
lantaran kejahilan yang sudah menghegemoni puluhan generasi. Beliau suka
minum susu sementara yang lain gemar minum khamr. Beliau
bersikap baik pada istri-istrinya, mencintai anak-anak perempuannya dan
menciumi anak-anaknya, sementara orang lain kasar kepada istri, membunuh
anak-anak perempuan dan tidak sudi mencium anak sendiri. Beliau
bermunajat di sekeliling Ka’bah, sementara kaum musyrikin ber-thawaf
sambil bertelanjang bulat di tempat itu. Beliau menyeru manusia untuk
berbuat baik kepada sesama, sementara yang lain sibuk saling berperang.
Nyaris dari segi mana pun kita memandangnya, beliau memang ‘orang asing’
di jamannya itu.
Tapi angin segar yang tiba-tiba berhembus di siang bolong pastilah
membawa pengharapan. ‘Keasingan’ pribadi dan ajaran beliau itulah yang
menarik hati banyak orang. Manusia adalah manusia, sejak manusia pertama
hingga manusia terakhir kelak. Fithrah-nya tidak berubah dari masa ke masa. Ketika mereka melanggar fithrah-nya
sendiri, meskipun hal itu memuaskan hawa nafsunya barang sesaat, tapi
pada hakikatnya mereka tengah melukai dirinya sendiri.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah pribadi
yang begitu mencolok. Kehadirannya mengguncangkan semua pemikiran sesat
yang berkembang di tengah-tengah kaumnya. Banyak hal yang baru mereka
sadari kembali setelah menyaksikan sendiri pribadi beliau: ternyata
pemberani tak perlu kasar, ternyata anak perempuan tak perlu dibenci,
ternyata hidup tak butuh khamr, ternyata nasib tak perlu
diundi, ternyata doa tak perlu perantara, ternyata manusia tak butuh
berhala, dan ‘ternyata-ternyata’ lainnya.
Kehadiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membuat
orang sadar bahwa sejatinya mereka sudah capek dengan kejahilannya
sendiri. Mereka sudah lelah berbunuh-bunuhan hanya karena persoalan
sepele yang tidak lebih penting daripada sepakbola antarkampung di jaman
sekarang. Mereka sudah jenuh dengan keluarga yang seolah tanpa makna
tanpa kehadiran cinta yang benar-benar sejuk di dalamnya. Mereka sudah
jenuh melayani berhala-berhala yang ‘banyak tuntutan’ dan ‘banyak
maunya’. Mereka sudah kenyang dengan hidup yang ditentukan oleh posisi
bintang dan ditebak-tebak dengan undian. Mereka sudah muak dengan segala
kejahilan yang tak pernah ada penjelasannya itu.
Di negeri-negeri yang dipenuhi perasaan jenuh dan orang muak semacam
itulah dakwah Islam justru panen besar, meski penuh perjuangan. Di Timur
Tengah kini, ideologi sekuler sudah tidak laku lagi. Rakyat bangkit
melawan penguasa tiran yang selalu membawa-bawa nama Islam tapi tak
pernah melaksanakannya. Satu persatu diktator dijatuhkan dan bunga-bunga
dakwah dan tarbiyah bermekaran di sana-sini.
Di Eropa dan Amerika, Islam berkembang tanpa ada yang bisa
mencegahnya. Runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) yang direkayasa
untuk melemahkan umat Islam justru membuat masyarakat Barat semakin
tertarik mencari tahu segala sesuatunya tentang Islam. Naik darahnya
Geert Wilders dan sikap ngotot media massa Eropa untuk menampilkan
karikatur yang menghina Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam malah membuat masyarakat Eropa semakin terbuka menyambut Islam.
Di negeri-negeri yang sudah jenuh dengan penyimpangan itu,
masjid-masjid membuka pintunya dan mengadakan kursus-kursus pengenalan
Islam. Orang-orang duduk bersama dan mendiskusikan ajaran Islam. Satu
persatu luluh hatinya; sebagian memutuskan untuk memeluk agama Islam,
sebagian lainnya semakin toleran dengan Islam. Di tempat lain, dakwah
dilakukan dengan cara yang teramat sederhana. Mereka membagi-bagikan mushhaf
kepada siapa pun yang lewat. Ada saja yang langsung membuangnya ke
tempat sampah atau marah-marah tanpa sebab, tapi kenyataannya banyak
juga yang membawanya pulang dan membacanya baik-baik, sebelum hatinya
menyerah di hadapan pesona Islam.
Di negeri-negeri yang penuh dengan perasaan jenuh dan orang-orang
muak, Islam memang merupakan ‘barang asing’. Islam hadir dan menentang
semua pola pikir dan cara hidup jahiliyah manusia. Kehadiran
Islam di tengah-tengah masyarakat seperti ini sudah barang tentu akan
membuat banyak orang mempertanyakan. Tapi dakwah Islam justru bersemi
dalam kondisi yang demikian. Ketika orang sudah mulai bertanya-tanya,
maka datanglah Islam untuk memberikan jawaban dari segala kejenuhan
mereka.
Wallohualam
Wassalam
Ketika Islam menjadi kembali asing
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment